By Syaifoel Hardy
Secara pribadi, saya tidak suka dengan Belanda. Ada alasan mendasar tentunya. Pertama, Belanda saya anggap sebagai penjajah yang rakus! Tiga ratus limah puluh tahun menggarong harta milik, kekayaan Bumi Pertiwi, membunuh, menyengsarakan hingga memecah-belah rakyat Indonesia, rasanya masih belum cukup puas. Didirikan olehnya sekolah-sekolah, yayasan, rumah sakit dan panti asuhan dengan mengatas-namakan bantuan sosial. Alias kemanusiaan yang bertopeng.
Namun itu dulu!
Sebagai warga negara beragama Islam yang baik, kita tidak boleh mengingat-ingat kesalahan orang lain. Yang lalu, sudahlah berlalu. Perkara Patung asli Ken Dedes mau dikembalikan atau tidak ke negeri kita, bagi saya tak masalah.
Demikian juga rel kereta api dari Panarukan hingga Banyuwangi hasil proyek negeri KIncir Angin ini. Tak mungkin lah kita kembalikan. Toh, mereka bangun dengan keringat dan nyawa rakyat kita juga. Apalagi bangunan seperti Gedung Sate di Bandung atau Balai Kota Malang. Apa harus dijebol dan dipaketkan lewat DHL ke Den Haag?
Apalagi, saat ini, jumlah warga kita yang tinggal di sana angkanya melebihi 15.000 jiwa. Ada yang tinggal dan bekerja di sana; mengikuti suami atau sedang belajar. Hal ini menunjukkan sebuah itikad baik, bahwa generasi Belanda saat ini, sudah beda!
Yang buruk tentang Belanda, lupakan! Yang baik, kita ambil!
Di antaranya adalah, nursing. Belanda yang memperkenalkan konsep pelayanan kesehatan di negeri kita, termasuk pendidikannya. Walaupun kiblat pendidikan nursing kita dewasa ini tidak mengacu ke sana, sisa-sisa praktik di sejumlah rumah sakit, panti asuhan dan klinik, masih terasa hingga kini.
Itu sebagai bukti, ternyata, meski menyandang predikat sebagai penjajah, nama Belanda belum seluruhnya ‘enyah’ dari negeri ini.
Satu hal lainnya yang saya ‘suka’ dari Belanda adalah kepiawaian dalam merawat sesuatu. Belanda, jangan ditanya! Setidaknya saya memiliki dia pengalaman langsung dengan kerajaan mereka!
Pertama, ketika sedang praktik di sebuah sekolah di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Saat itu, masih dipimpin oleh orang Belanda asli, Sr. Joanne kami memanggilnya. Sudah tua, tetapi masih menunjukkan kinerja enerjetik.
Gedung sekolahnya berada dalam lingkungan rumah sakit, Ukurannya kecil. Ruangan-ruangan kelas kecil, tertata rapi. Baik itu peralatan sekolah, bangku, kursi, meja hingga buku-buku. Kesannya, sungguh teratur.
Suatu hari, saya melihat sang Kepala Sekolah yang juga seorang Biarawati, menggunting kertas dalam ukuran kecil-kecil, kertas-kertas HVS bekas. Artinya, kertas tersebut pada satu halaman sudah terpakai, sementara di halaman baliknya masih kosong. Kertas-kertas tersebut digunting kemudian digunakan sebagai catatan, ditaruh di mejanya yang rapi dan bersih.
Kelihatannya sederhana, namun bermakna. Apa yang dilakukan Sr. Joanne ini bisa dicontoh. Dalam segi lingkungan, juga mengurangi jumlah sampah. Dalam artian management, bisa efektif dan efisien terkait dengan budget. Intinya, dari berbagai sudut pandang, sikap yang terpuji.
Apa yang saya lihat pada saat itu, membekas dalam pikiran dan sikap saya hingga kini. Sr. Joanne, yang berwarga-negara Belanda, masih saya ‘simpan’!
Yang kedua, ketika bekerja di sebuah lembaga di kota kami. Juga di bawah yayasan milik Katolik. Supervisor saya, seorang suster biarawati.
Kami, karyawannya, tanpa pandang pangkat dan jabatan, ketika datang ke kantor, pagi, semuanya terlibat dalam apa yang kami sebut sebagai ‘pelihara & jaga kebersihan’. Mengambil lap, kemudian membersihkan meja, kursi, buku, rak, mesin ketik, map, file, meja-kursi tamu, hingga ruang istirahat minum teh. Aktivitas ini kami kerjakan setiap hari!
Pertama kali kerja di sana, sempat ‘terkejut’, karena tidak pernah saya lakukan di tempat kerja sebelumnya. Apalagi dengan menyandang status sebagai guru. Sedangkan di kantor ini, semua guru ikut lap-lap! Tidak ada bedanya antara karyawan yang punya jabatan dan buruh rendah!
Di kantor dan kamar boss (saya sering keluar masuk, sebagai bawahan. Maklum, nggak bisa dibedakan kantor dan kamar beliau), saya melihat semua perabotan kecil tertata, amat rapi. Alat-alat elektroniknya seperti TV dan radio atau tape recorder, ada kain penutupnya! Pelindung debu!
Tempat kerja kami tidaklah mewah. Namun, hampir semua sudutnya sangat terpelihara, teratur, rapi dan bersih. Dari taman, pintu masuk, jendela, lantai almari, kursi meja, rak buku, hingga kamar mandi dan (maaf) tempat sampah!
Sayangnya, Belanda gagal dalam beberapa hal termasuk 'peninggalan' yang terkait dengan rajinnya memelihara ini, kecuali yang tersisa di RS atau yayasan yang saya sebut di atas. Belanda gagal juga dalam memasyarakatkan bahasa, pendidikan, politik, ekonomi, budaya juga agama, meski sudah 350 tahun mendekam di Nusantara!
Terkesan sekali, management ‘cares’ about this! Semua staff sadar akan peran masing-masing. Sebuah pembelajarn bagus yang turun-menurun dari zaman Belanda! Siapa lagi kalau bukan Belanda yang mengajarkan?
Dampaknya, saya rasakan sekali. Di rumah, di tempat kos, kantor, saat bepergian dan di mana-mana, hingga saat ini! Sungguh luar biasa!
Ternyata, bahwa untuk mendirikan bangunan, menanam bunga, membeli meja kursi, televisi, kamera, laptop, computer, handphone dan lain-lain, banyak orang bisa serta gampang sekali. Sayangnya, sesudah beberapa waktu, alat-alat atau perabot yang kita beli, tebal, berdebu. Kotor sekali, warna asli sudah berubah, karatan dan sulit dibersihkan!
Akibatnya, mudah rusak. Kalaupun harus dijual lagi, akan jauh lebih murah karena tampilnya.
Makanya, saya ‘kecewa’ suatu hari, ketika melihat sebuah bangunan yang baru saja kami dirikan, ikan-ikan pada mati di kolam; dan sejumlah tanaman hias mengering! Bukan masalah harganya, namun kesalahan terbesarnya adalah: tidak pandai memelihara!
Kita bisa dan mampunya membeli atau mendirikan sesuatu. Banyak gedung-gedung dan peralatan mahal, milik pemerintah, yayasan atau lembaga di bawah naungan organisasi apapun, seringkali kita temui kurang terawat. Ironisnya, banyak di antara kita yang tidak merasa ‘berdosa’ melihat pemandangan ini. ‘Toh bukan milik kita!’ Kita tidak mempunyai sense of belonging (Rasa turut memiliki).
Mengapa ini bisa terjadi?
Didikan dasarnya tidak kita mulai dari awal! Anak-anak kita belikan mainan yang rusak dalam hitungan menit. Kita tidak biasa mengembalikan barang ke tempatnya semula. Kita tidak menyimpan buku-buku yang kita baca, pula tidak tersampul. Kita tidak dimintai pertanggungjawaban di rumah, di kantor, di banyak tempat lainnya, termasuk ‘denda’ bila membuang sampah di sembarang tempat.
Merencanakan, membuat ide, mendirikan, membangun, membeli atau semacamnya, boleh jadi tidak gampang. Tetapi yang namanya memelihara, jangan tanya! Jauh lebih sulit!
Pesan moral yang ingin sampaikan adalah, selalu tanyakan pada diri sendiri: bagaimana memeliharanya sebelum membeli atau mendirikan sesuatu!
Jika tidak sanggup, lebih baik batal atau, tunda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar