POLEMIK SEPUTAR WEWENANG PERAWAT DAN BIDAN
Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan pernyataan seorang bidan (koordinator bidan PTT Indonesia bernama Ruby Maharani) sehubungan dengan polemik penggabungan perawat dan bidan dalam satu UU yang diusung kemenkes.
Ruby berpandangan, apabila Keperawatan dan Kebidanan digabung dalam satu UU, maka akan memimbulkan grey area dimana pada perawat dengan spesialisasi maternitas bisa saja menimbulkan persepsi bahwa perawat diperbolehkan menolong persalinan dan melakukan asuhan keperawatan seperti halnya pada asuhan kebidanan. Sehingga, akan memungkinkan terjadinya saling tumpah tindih kewenangan antara bidan dan perawat. Dia menyatakan bahwa bidan menolong persalinan, sementara perawat tidak bisa menolong persalinan. Kenapa? karena perawat tidak ada kompetensi persalinan (Republika.co.id).
Sontak hal itu menimbulkan reaksi dari kalangan perawat yang merasa direndahkan dengan pernyataan itu. Dari pernyataan di atas jelas maksudnya bahwa perawat spesialis maternitas pun tidak berwenang menangani persalinan, apalagi perawat umum. Beberapa reaksi dan tanggapan dari perawat yang bisa saya simpulkan, pada intinya adalah sebagai berikut :
1. Ilmu kebidanan adalah bagian dari ilmu keperawatan. Pada awalnya pendidikan kebidanan adalah dari basic pndidikan keperawatan, tapi seiring waktu lulusan sekolah menengah atas bisa langsung menempuh pendidikn bidan di kampus2 akademi kebidanan walaupun tanpa basic pendidikn perawat. Di beberapa universitas juga sudah ada pendidikan sarjana kebidanan. Di beberapa negara di luar negeri untuk menjadi bidan diwajibkan menempuh pendidikan perawat setingkat diploma dulu, setelah lulus baru melanjutkan pndidikan bidan selama setahun dan lulusannya disebut nurse midwifery (perawat kebidanan).
2. Ilmu keperawatan cakupannya lebih luas yakni individu/manusia segala usia sejak dari lahir sampai meninggal, baik laki2 maupun perempuan meliputi aspek biopsikososiospiritual. Sedangkan ilmu kebidanan cakupannya meliputi ibu, bayi, balita, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, wanita usia subur sampai menopause, dan kesehatan reproduksi. Jika dilihat dari cakupan dan ruang lingkup kedua keilmuan di atas, tentunya ilmu kebidanan adalah bagian dari ilmu keperawatan.
PPNI tampaknya tidak mau menanggapi pernyataan si bidan tadi dengan alasan jika dilayani hanya akan mnjadi debat kusir. Selain itu juga muncul anggapan jika pernyataan tersebut dilayani maka itu berarti keberhasilan kemenkes untuk mengulur pengesahan RUUK, dan PPNI tidak mau terjebak dalam politik adu domba.
Boleh kita menanggapi pernyataan itu dengan bantahan dan sangkalan sinis, tapi ada baiknya kita juga introspeksi diri dan merenungkan pernyataan yang dilontarkan si bidan itu dengan kenyataan di lapangan. Sebaiknya pembahasan kita fokuskan hanya pada wewenang menangani persalinan (sesuai pernyataan si bidan tadi bahwa perawat tidak bisa/boleh menangani persalianan). Yang lain terkait nifas, ginekologi, perinatologi, balita, wus, menopause, kesehatan reproduksi sudah jelas tugas dan wewenang perawat.
1. Kalau kita cermati, di rumah sakit (bangsal obsgin), rumah bersalin, praktek bersalin mandiri, yang dominan adalah bidan. Mereka sebagai mitra dokter spesialis obsgin. Perawat saya jarang menemui. Kalaupun ada, tugas perawat di bangsal obsgin adalah perawatan pasien post partum. Untuk tindakan persalinan lebih dominan bidan yang melakukannya. Memang ada perawat yang menangani persalinan di RS dan di daerah2 terpencil yg tidak ada bidan dan dokter, tapi jumlahnya sedikit sekali dibandingkan jumlah perawat keseluruhan.
2. Dalam kurikulum pndidikan perawat ada mata kuliah dan praktik klinik maternitas dan jumlah SKS-nya pun lumayan besar. Tapi pada kenyataannya saat praktik klinik maternitas di bangsal obsgin, mahasiswa perawat tidak se-intens mahasiswa bidan dalam hal persalinan. Kalau mau jujur, praktik klinik maternitas bagi mahasiswa perawat diploma maupun sarjana hanya sebatas tahu, melihat, dan menangani beberapa persalinan, sehingga lulusan pendidikan keperawatan istilahnya masih ‘diragukan’ kemampuannya dalam menangani persalinan. Hal ini kita maklumi karena begitu luasnya ilmu keperawatan, tidak hanya maternitas. Mirip seperti dokter umum, lulusan dokter umum pun belum tentu bisa apalagi expert menangani persalinan karena saat pendidikan profesi dokter,mereka menempuh berbagai macam stase, tidak hanya maternitas. Untuk menguasai dan mendalami ilmu maternitas obstetri, dokter menempuh pendidikan dokter spesialis obstetri-ginekologi.
3. Sekarang sudah ada pendidikan perawat spesialis maternitas (dengan gelar lulusannya Sp.Mat) walaupun masih sedikit jumlah lulusannya. Tapi saya masih awam bagaimana kurikulum, mata kuliah, dan kompetensi perawat spesialis maternitas, apakah juga sama/setara dengan kompetensi bidan seperti tindakan menangani persalinan, perinatologi, sampai imunisasi. Mungkin di forum ini ada yang tahu dan bisa memberikan penjelasan bagaimana dan apa saja kompetensi perawat maternitas.
Bila memang perawat spesialis maternitas setara kompetensinya dengan bidan, maka tidak ada salahnya PPNI sebagai induk organisasi perawat memperbanyak jumlah perawat spesialis maternitas dengan memfasilitasi dan membantu fakultas/PSIK di universitas2 yang menyelenggarakan pendidikan tinggi keperawatan untuk membuka program studi perawat spesialis maternitas. Semakin banyak perawat spesialis maternitas maka kita bisa berkompetisi dengan bidan.
Tentunya kita tidak rela jika kewenangan perawat menangani persalinan dikebiri, diklaim, dan direbut oleh profesi lain. Ingat,....lahan berhubungan dengan ‘kepentingan perut’, apalagi jika suatu saat nanti banyak rumah sakit menerapkan sistem remunerasi berbasis kinerja, siapa yang bekerja (melakukan tindakan) dialah yang mendapatkan uang jasa pelayanan. Jika menangani persalinan jasa pelayanannya lumayan besar, maka perawat akan rugi sekali jika tidak boleh melakukan tindakan itu. Jasa yang harusnya masuk ke kantong perawat akhirnya masuk ke kantong bidan. Sungguh tragis tentunya jika hal ini terjadi.
Penanggung jawab/kepala ruang obsgin sebagai pejabat penentu/pengambil kebijakan strategis di ruangan sebisa mungkin harus dijabat oleh seorang perawat maternitas (Sp.Mat), bukannya bidan. Tentunya kurang pas dong, jika seorang perawat dengan pendidikan spesialis maternitas (S2 profesi) jadi bawahan sarjana kebidanan (S1 profesi) apalagi ahli madya kebidanan (AMd.Keb). Dunia medis pun seperti itu, dokter spesialis (S2 profesi) pada umumnya menduduki jabatan lebih tinggi daripada dokter umum (S1 profesi).
Sekarang pertanyaan yang perlu untuk kita tanyakan pada diri sendiri sebagai perawat tanpa memandang perawat umum atau spesialis maternitas adalah “Benarkah kita sebagai perawat sudah mampu menangani persalinan? Atau memang benar apa yang dikatakan si bidan tadi? ”
"Semakin banyak perawat spesialis maternitas maka kita bisa berkompetisi dengan bidan." kutipan ini sangat menarik,,
BalasHapuskenapa sesama tenaga kesehatan harus saling berkompetisi ,harusnya saling berkolaborasi untuk pelayanan yang lebih baik, jangan di provakator dong pak!!!
mungkin saya rada tendensius menanggapinya....saya berangkat dari pengetahuan dasar tentang change....setipa perubahan seringkali dianggap ancaman....makin pintar dan banyak orang terdidik pun menjad ancaman...kadang sekedar masa periuk nasi yang nggak mau dibagi ....pihak terkait keluarkan saja sk...atau perpu terkait tanggung perawat maternitas...so mana yang baik biar masyarakat yang menilai....rumah sakit buat 2 raung vk....pemerintah kayakanya nggak mau tegas.......
BalasHapus